Oleh: René L Pattiradjawane
KONFUSIUS atau disebut Kong Zi kembali menjadi ikon bagi bangsa dan rakyat China di tengah perseteruan global antara China dan negara-negara Barat. Setelah kemakmuran dan keadidayaan ekonomi dan perdagangan, para penguasa komunisme di Beijing memerlukan image yang mampu menunjukkan peradabannya menggunakan Konfusianisme sebagai dasar.
Perseteruan selama tiga tahun terakhir mulai dari persoalan ekonomi dan perdagangan seperti nilai tukar mata uang yuan, persaingan ekspor, maupun persoalan politik dan militer menyangkut Semenanjung Korea serta desakan negara Barat untuk menjadikan China sebagai negara yang bertanggung jawab dalam kemajuan modernisasinya.
Penobatan Liu Xiaobo (55) sebagai peraih Hadiah Nobel Perdamaian awal Desember 2010 menyebabkan terjadinya keberangan dan kenistaan bagi China yang menahan Liu atas tuduhan subversi karena menyuarakan kebebasan berpendapat dan hak asasi manusia.
Boikot China atas Hadiah Nobel Perdamaian disamakan dengan Uni Soviet lama ketika Moskwa bereaksi atas hadiah yang diberikan kepada Andrei Sakharov tahun 1975. Bahkan, juga disamakan dengan sikap Adolf Hitler ketika Nazi Jerman melarang Carl von Ossietzky yang ditahan karena pandangan pasifisnya pada tahun 1936.
Penguasa di Beijing tidak memberikan tanggapan (karena takut dituduh bersikap sama dengan kebangkitan Nazi Jerman), ketika Kongzi Heping Jiang (Hadiah Perdamaian Konfusius) untuk pertama kalinya diberikan kepada mantan Wapres Taiwan Lien Chan yang pernah menjabat Ketua Kuomintang (Partai Nasionalis China).
Ikon kebangsaan Ada upaya untuk mengangkat Konfusius kembali sebagai ikon utama kebangsaan China dalam sukses modernisasi dan keterbukaan yang dijalankan China selama lebih dari tiga dekade. Perdebatan peradaban antara kemajuan China dan nilai universal Barat tentang manusia dan kemanusiaan memang menjadi polemik yang tidak kunjung selesai.
Dalam konteks kemajuan dan pembangunan, misalnya, muncul pertanyaan berkaitan upaya yang dicapai RRC mengangkat ratusan juta warganya dari kemiskinan. Dibutuhkan waktu sekitar 18 tahun bagi China untuk mencapai cadangan devisa sekitar satu triliun dollar AS, tapi hanya waktu yang relatif singkat memperoleh devisa satu triliun dollar AS berikutnya.
Ada banyak pengamat percaya Kofusianisme menjadi pendorong etos kerja China, mengingat gagasan tentang komunitas seperti dalam ajaran Konghucu, ketika diterapkan dalam ekonomi menjadi jalan bagi pertumbuhan dan kesejahteraan dengan menempatkan komunitas di atas hak-hak individu.
Kunci peradaban Kita teringat ketika sosiolog Jerman, Max Weber, dalam esainya Die protestantische Ethik und der Geist des Kapitalismus (Etik Protestan dan Semangat Kapitalisme) ditulis tahun 1930 yang mencatat adanya beberapa sekte Protestan (terutama Calvinis) telah mendorong tumbuhnya kapitalisme Jerman. Dalam ajaran Calvin tentang takdir dan nasib di hari nanti, terbentuk doktrin yang mendorong motivasi sikap hidup duniawi.
China modern yang kita lihat memang menjalankan sepenuhnya semangat kapitalistik dan dipacu penuh untuk menjadikan China sebagai sebuah kekuatan ekonomi, perdagangan, maupun politik baru. Apakah keberhasilan China ini memang didorong oleh etos Konfusianisme yang dijadikan acuan para penguasa China selama berabad-abad, menjadi berbeda dengan etika Protestanisme di Jerman.
Weber sendiri melihat, ”… Konfusianisme menjadi penyebab utama yang bertanggung jawab atas keterbelakangan ekonomi China.” Ini mungkin pandangan awal abad ke-20 ketika daratan China terkungkung dalam jerat imperialisme dan kebangkitan nasionalisme. Konfusianisme dalam kekuasaan komunisme menjadi nilai yang mendorong pengetahuan dan pembelajaran, termasuk kunci peradaban tentang konsep harmoni maupun China sebagai Negara Tengah.
http://internasional.kompas.com/read/2010/12/28/07500635/Peradaban.China.Modern-4
0 comments:
Posting Komentar