Gitar Bali untuk dunia

Selasa, 11 Oktober 2011
Tak pernah terbayang oleh Tuges bila kini ia sanggup memproduksi gitar. Apalagi kerajinan yang dibuatnya itu dikenal di pasar gitar internasional. Ia labeli gitar bikinannya dengan nama unik, ’Blueberry.’

Alat musik petik yang di sana-sini dihiasi ukiran itu telah menembus angka penjualan 977 buah yang 90% laku di Amerika dan benua Eropa. Masyarakat Jepang dan sejumlah negara Timur Tengah juga meminati gitar buatan pemahat kayu ini.

"Saya hanya tukang pahat. Tidak mengerti gitar, memainkannya saja hanya untuk coba-coba,” ujar Tuges saat ditemui di workshop gitar Blueberry di Desa Guwang, Sukawati, Gianyar, Bali, baru-baru ini.

Mungkin lantaran lahir dari keluarga berlatar belakang pematung, pria bernama lengkap I Wayan Tuges ini pun sejak berusia lima tahun sudah terbiasa memahat kayu. Dia yakin bakat seninya mengalir dari sang kakek, Nyoman Selag, dan ayahnya, I Nyoman Ritug.

Kecerdikan Tuges membuat sesuatu berbeda pada gitar ukirnya cukup menarik hati para musisi dan kolektor gitar. Lebih dari itu, Blueberry berani mendobrak pakem. Jika umumnya gitar itu halus, Blueberry memunculkan gitar yang kasar agar menambah resonansi suara. Sentuhan tradisional hadir pada ukiran khas Bali di badan, leher, dan atau headstock alat musik populer ini.

"Hal yang rumit adalah membuatnya dengan tidak merusak atau mengurangi karakter sound yang optimal,” ujarnya.

Beberapa terobosan baru untuk berbagai ornamen di sekujur gitar pun dibuat. Tuges menempelkan motif kerang pada belakang gitar, membuat gitar bertipe groove yang simpel, song writer, gitar yang aneh dan unik.

”Atau model gitar yang membuat tiap penulis lagu menikmati sendiri bunyi melodinya. Suara gitar kami terasa lebih untuk dirinya bukan untuk audiens," ungkap Tuges.

Gitar bikinan tangan dan terbatas dari Bali ini banyak dibicarakan di kalangan industri musik internasional dan digunakan oleh banyak musisi. Rob Lutes, Rick Monroe, Dino Bradley, dan George Canyon Band Country Rock Little Texas menggunakannya, termasuk kontestan American Idol. Dari kalangan musisi lokal ada nama Dewa Budjana, Balawan dan Eros Djarot.

Gitar buatan anak kampung ini pertama kali diproduksi pada 2005 atas ide dan ajakan pengusaha dan pencinta musik asal Kanada, Danny Fonfeder. Dua tahun Tuges melewatkan trial and error dan berguru pada George Morris, pembuat gitar dari Amerika.

"Danny yang mengajak saya membuat gitar terbaik dan termahal di dunia,” kenangnya.

Mei 2007 menjadi sejarah bagi gitar Blueberry. Untuk pertama kalinya gitar buatan Tuges dinyatakan layak jual dan akhirnya dapat diluncurkan di acara besar, Montreal International Jazz Festival, di Kanada. Lalu berapa harga gitar-gitar unik itu?

Tuges menjual gitar pertamanya seharga US$3.000. Kini harga gitar putra Bali itu masih di kisaran US$1.000 sampai US$8000.

"Meskipun pembuatannya secara hand made dan memakan waktu lama, harga Gitar Blueberry masih di bawah harga gitar lain yang ternama di Amerika. Yang paling mahal itu di bagian head stock-nya ada lapisan perak dan emas,” papar Tuges.

Harga jual Blueberry yang rata-rata di atas sepuluhan juta rupiah membuatnya sulit beredar di pasar lokal. Walau begitu, ke depan Tuges ingin mengenalkan lebih luas gitar buatannya kepada para musisi dan kolektor gitar di Indonesia.

"Saya senang dan ikut bangga juga kalau putra bangsa seperti Dewa Budjana, Balawan dan Eros Djarot memakai gitar buatan saya,” tuturnya.

Untuk membuat gitar yang tidak umum memang tidak mudah. Perlu kecermatan, kalkulasi, dan tentu kreativitas. "Mengukir pada gitar itu memiliki kesulitan dan kenikmatan tersendiri. Tiap gitar memerlukan inovasi agar bisa bersaing dan diminati di industri pasar musik internasional,” katanya.

Proses pembuatan pun jauh berbeda dari gitar pabrikan. Tuges memilih kayu terbaik dan membuatnya dengan tangan-tangan kreatif pemuda Bali. Seluruh proses, dari penentuan kayu dari pohon apa hingga sebuah gitar siap pakai, perlu waktu lama. Paling sedikit enam bulan, bahkan ada yang sampai setahun.

Sebelum proses pembuatan, kayu-kayu pilihan itu dipanaskan di ruang pemanas (oven) dengan suhu tertentu, kemudian dipotong sesuai ukuran dan desain gitar. "Dari pemotongan hingga finishing saja, satu gitar memakan waktu rata-rata selama dua bulan,” kata Tuges.

Dulu bahan bakunya diimpor dari Tasmania, Amerika Serikat, atau Kanada. Setelah banyak mencoba, setahun belakangan ini ditemukan bahan baku lokal yang tepat.
Awalnya Tuges mencoba kayu jenis cempaka (yang biasanya diukir untuk panil). Setelah diproses ternyata suaranya jauh lebih baik ketimbang kayu impor. Dalam perkembangan dan pencarian yang terus-menerus ditemukanlah jenis kayu lain.

"Kami sudah bereksperimen dengan berbagai jenis kayu. Kayu yang banyak digunakan adalah kayu spruce dan cedar (sejenis cemara), rose wood, akasia, mahoni, dan cempaka. Jenis-jenis kayu itu serat dan tampilan warnanya bagus. Dan yang terpenting mampu mengeluarkan suara bagus,” beber Tuges yang berkonsentrasi pada pembuatan gitar akustik ini.

Bersama 45 perajin di bawah pengawasannya, Tuges terus menciptakan inovasi baru. Ia percaya, meski dibuat di pojok kampung, gitar buatannya memiliki kualitas internasional. “Semua ini karena perjalanan waktu dan rasa cinta kami pada seni ukir Bali, “ katanya menutup perbincangan. Sumber

0 comments:

Posting Komentar